Kamis, 13 Desember 2012

Asal usul Yogjakarta

Berdirinya Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat tidak terlepas dari Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang merupakan kompromi politik Kerajaan Mataram. Perjanjian ini berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku BuwonoI). Dan perjanjian tersebut tidak terlepas dari sepak terjang politik adu domba VOC. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta (sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), Tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Pakubuwana III. Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I sebagai raja pertama Yogyakarta adalah membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengkubuwana I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada zaman almarhum Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Pakubuwana II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri. Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantinya dengan nama Ayogya(atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata a berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai "Kota yang aman dan tenteram". Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan Hamengkubuwana I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. [ align] Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, Sleman. Kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala Dwi Naga Rasa Tunggal. Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756. Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula bangunan- bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.
Berdirinya Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat tidak terlepas dari Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang merupakan kompromi politik Kerajaan Mataram. Perjanjian ini berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku BuwonoI). Dan perjanjian tersebut tidak terlepas dari sepak terjang politik adu domba VOC. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta (sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), Tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Pakubuwana III. Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I sebagai raja pertama Yogyakarta adalah membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengkubuwana I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada zaman almarhum Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Pakubuwana II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri. Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantinya dengan nama Ayogya(atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata a berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai "Kota yang aman dan tenteram". Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan Hamengkubuwana I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. [ align] Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, Sleman. Kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala Dwi Naga Rasa Tunggal. Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756. Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula bangunan- bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.